Kamis, 05 September 2013

PENGERTIAN ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM

Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah.[1] Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab.
Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah l wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat).[2]
 Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah.[3]
Sedangkan Imam An-Nawawi t mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam.
Perbedaan Antara Zakat, Infaq dan Shadaqah
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani [4]dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq pengertiannya adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan.
 Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (denda) berupa harta adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infaq. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif, yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan, bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Sedangkan untuk istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah dapat didefinisikan sebagai pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan[5]
Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah[6] Namun hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ : “Al wasilatu ilal haram haram”,“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya.
Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ : “Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”, “Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini (yaitu yang hukumnya sunnah) bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat[7] Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah l :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi 
y kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : “…Beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukanshadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah.
 Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat”diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah).
Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha”(mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sebutan bagi sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi y bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).

Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnyaAt Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah l.
 Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya).
Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya.
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapatqarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan : “Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”, (Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara makna aslinya).
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)

Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah.[8]
As Sayyid As Sabiq juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’.[9]

B. Kedudukan dan fadhilah zakat
 Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah l. telah mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).
Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah sahihah yang menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq dan shadaqah.
Sebagaimana firman Allah ltaala :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 277 )

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum : 39 ) .

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 274 ) .
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103 )

Adapun hadist-hadits nabawi yang menjelaskan akan keutamaannya antara lain :
Dari Abu Hurairah a bahwa seorang Arab Badui mendatangi Nabi yseraya berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku suatu amalan, bila aku mengerjakannya, aku masuk surga?”, Beliau bersabda :“Beribadahlah kepada Allah dan jangan berbuat syirik kepada-Nya, dirikan shalat, bayarkan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan,” ia berkata, “Aku tidak akan menambah amalan selain di atas”, tatkala orang tersebut beranjak keluar, Nabi ybersabda : “Siapa yang ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga maka lihatlah orang ini”. (Muttafaq ’alaih)

Allah 
l, adalah Dzat yang Maha Suci dan tidak akan menerima kecuali hal-hal yang suci dan baik, demikian juga shadaqah kecuali dari harta yang suci dan halal.
Rasulullah y bersabda :
Dari Abu Hurairah a, ia berkata : “Rasulullah y bersabda : “Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik (Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik), maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharanya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung.” (Muttafaq ’alaih)
Zakat, infaq dan shadaqah memiliki fadhilah dan faedah yang sangat banyak, bahkan sebagian ulama telah menyebutkan lebih dari duapuluh faedah, diantaranya:

1- Ia bisa meredam kemurkaan Allah, Rasulullah 
y, bersabda:“Sesunggunhnya shadaqah secara sembunyi-sembunyi bisa memadamkan kemurkaan Rabb (Allah).” (Shahih At-targhib)

2- Menghapuskan kesalahan seorang hamba, beliau bersabda: “Dan Shadaqah bisa menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (Shahih At-targhib)

3- Orang yang bersedekah dengan ikhlas akan mendapatkan perlindungan dan naungan Arsy di hari kiamat. Rasulullah 
y bersabda : “Tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya diantaranya yaitu: “Seseorang yang menyedekahkan hartanya dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)

4- Sebagai obat bagi berbagai macam penyakit baik penyakit jasmani maupun rohani. Rasulullah saw, bersabda: “Obatilah orang-orang yang sakit diantaramu dengan shadaqah.” (Shahih At-targhib)
Beliau y juga bersabda kepada orang yang mengeluhkan tentang kekerasan hatinya: “Jika engkau ingin melunakkan hatimu maka berilah makan pada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.”(HR. Ahmad)

5- Sebagai penolak berbagai macam bencana dan musibah.

6- Orang yang berinfaq akan didoakan oleh malaikat setiap hari sebagaimana sabda Rasulullah 
“Tidaklah datang suatu hari kecuali akan turun dua malaikat yang salah satunya mengatakan, “Ya Allah, berilah orang-orang yang berinfaq itu balasan, dan yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah pada orang yang bakhil kebinasaan (hartanya).” (Muttafaq ‘alaihi)

7- Orang yang membayar zakat akan Allah berkahi hartanya, Rasulullah 
y bersabda : “Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta.”(HR. Muslim)

8- Allah
l akan melipatgandakan pahala orang yang bersedekah,Allah lberfirman : 
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

9- Shadaqah merupakan indikasi kebenaran iman seseorang, Rasulullah 
y bersabda, “Shadaqah merupakan bukti (keimanan).”(HR.Muslim)[10]

10- Shadaqah merupakan pembersih harta dan mensucikannya dari kotoran, sebagaimana wasiat beliau kepada para pedagang, “Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dicampuri dengan perbuatan sia-sia dan sumpah oleh karena bersihkanlah ia dengan shadaqah.” (HR. Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah)

Inilah diantara beberapa manfaat dan faidah dari zakat, infaq, dan shadaqah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita memohon semoga Allah 
l menjadikan kita termasuk orang-orang yang senang berinfaq dan bershadaqah serta menunaikan zakat dengan ikhlas karena mengharap wajah dan keridhaan-Nya, amin ya rabbal ‘alamin.


Dalam Fiqhus Syaikh Sayyid Sabiq menulis, “Zakat adalah salah satu amalan fardhu yang telah disepakati ummat Islam dan sudah sangat terkenal sehingga termasuk dharurriyatud din (pengetahuan yang pokok dalam agama), yang mana andaikata ada seseorang mengingkari wajibnya zakat, maka dinyatakan keluar dari Islam dan harus dibunuh karena kafir. Kecuali jika hal itu terjadi pada seseorang yang baru masuk Islam, maka dimaafkan karena belum mengerti hukum-hukum Islam.”
Masih menurut Sayyid Sabiq, “Adapun orang-orang yang enggan membayar zakat, namun meyakininya sebagai kewajiban, maka ia hanya berdosa besar karena enggan membayarnya, tidak sampai keluar dari Islam. Dan, penguasa yang sah berwenang memungut zakat tersebut darinya dengan paksa”. Dalam hal ini penguasa berhak  menyita separuh harta kekayaannya sebagai sangsi baginya, hal ini berdasar pada hadits dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari datuknya a ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah y bersabda yang artinya, “Pada setiap unta yang digembalakan ada zakatnya, setiap 40 ekor (zakatnya) adalah seekor anak unta betina yang selesai menyusu; unta tidak dipisahkan dari perhitungannya; barangsiapa yang membayar zakat itu untuk memperoleh pahala, maka ia pasti akan mendapat pahala itu, tetapi orang yang tidak membayarnya kami akan memungut zakat itu beserta separuh kekayaannya. Ini merupakan salah satu ketentuan tegas dari Rabb kita, yang mana bagi keluarga Muhammad tidak halal menerimanya sedikitpun.”[11]
Jika ada suatu kaum yang mau mengeluarkannya, namun mereka tetap meyakini akan kewajiban mengeluarkan zakat, dan mereka memiliki kekuatan dan pertahanan. Maka mereka harus diperangi karena sikapnya hingga sadar membayarnya sebagaimana yang telah dilakukan khalifah Abu Bakar kepada sekelompok manusia yang enggan menunaikan zakat.  Juga telah disebutkan dalam sebuah hadits, Nabi y bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi mereka, kecuali bila mereka sudah mengikrarkan syahadat bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) selain Allah dan Muhammad adalah Rasul utusan-Nya, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Bila mereka sudah melaksanakan hal itu, maka darah mereka dan harta kekayaan mereka memperoleh perlindungan dari saya, kecuali oleh karena hak-hak Islam lain, yang dalam hal ini perhitungannya diserahkan kepada Allah.” (Muttafaqqun ’alaih).




[1] Lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398.
[2] Fiqhu az-Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman 38.

[3] Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad Abdul Baqi.

[4] Lihat Sharful maal ilal haajah, Al Jurjani, tt : 39.
[5]  Lihat Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919.
[6] Lihat Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 916.
[7] Zallum : 148.
[8] Tafsir Ibnu Katsir Juz II: 364
[9] Fiqhus Sunnah Juz I : 277
[10] Zakat adalah indikasi keimanan, dari sinilah Abu Bakar shidiq sampai memberikan pernyataan yang tegas kepada para pembangkang zakat :”Demi Allah, akan aku perangi mereka-mereka yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta, demi Allah, seandainya mereka melarang aku untuk mengeluarkan zakat domba kecil yang pada masa Rasulullah y ditunaikan, niscaya akan aku perangi mereka”. (Lihat kisah selengkapnya dalam Naiul Authar IV:119)

[11] ‘Aunul Ma’bud IV:452 no:1560, Nasa’i V:25, al-Fathur Rabbani VIII:217 no:28.

PARA MUSTAHIQ ZAKAT

Dalil Quran Tentang Mustahiq Zakat
Allah l berfirman :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)
Dari ayat diatas terperinci bahwa mustahiq zakat itu ada 8 kelompok (asnaf). Mereka adalah :
  1. Orang-orang fakir [1]
  2. Orang-orang miskin [2]
  3. Pengurus-pengurus zakat[3]
  4. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)[4]
  5. Untuk budak[5]
  6. Orang-orang yang berhutang [6]
  7. Fi Sabilillah[7]
  8. Musafir[8]
BEBERAPA FAEDAH ZAKAT

A. Faedah diniyah (segi agama)
1.   Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
2.   Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
3.   Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah l yang artinya :
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276)

Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi 
y juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah l berlipat ganda.
4.   Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah y.
B. Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
1.   Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
2.   Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
3.   Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
4.   Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
C. Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
1.   Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
2.   Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
3.   Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
4.   Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
5.   Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.

 

APAKAH ANAK KECIL WAJIB MEMBAYAR ZAKAT ?

Assalamu’alaikum Wr Wb
Bapak Ustadz, apakah anak yang belum baligh ketika ditinggal wafat oleh ibu bapaknya sudah wajib mengeluarkan zakat hartanya ? Imran - Kaltim
Jawaban :
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai masalah ini. Kalangan Hanafiyah menetapkan diantara syarat wajib zakat adalah hendaknya pemilik harta sudah dewasa serta sehat akalnya, artinya zakat tidak wajib bagi anak-anak dan orang gila. Karena dalam pertimbangan mazhab Hanafi, kedua golongan ini – yakni anak-anak dan orang gila – bukanlah mukallaf (orang yang wajib memikul kewajiban syariat).
Namun mayoritas ulama berpendapat zakat tetap wajib atas mereka ini, yaitu yang wajib mengeluarkan adalah walinya. Berdasarkan hadits : “Barangsiapa menguasai harta anak yatim yang mempunyai harta, maka hendaklah ia memperdagangkan untuk anak tersebut dan tidak membiarkannya termakan oleh shadaqah (maksudnya ; zakat).” Sedangkan dalam riwayat yang lain, “Carilah rezeki dengan harta anak yatim. Jangan sampai ia (hartanya) dimakan zakat.”[1]
Pendapat jumhur ini adalah pendapat yang paling rajih (kuat) dan lebih utama untuk diikuti. Selain karena dalil yang lebih kuat, juga yang paling banyak mendatangkan kemashlahatan bagi orang-orang fakir, melindungi harta dari intaian orang-orang yag membutuhkan, membersihkan jiwa, melatih akhlaq dan semangat berkorban untuk agama.

Wallahu a'lam

[1] Hadits ini diriwayatkan oleh at Tirmidzi dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya dengan sanad yang dha’if. Diriwayatkan pula oleh Asy Syafi’I  dari Yusuf bin mahik dengan sanad Mursal. Dan Baihaqi meriwayatkan dengan sanad mauquf pada sayidina Umar bin Khattab a. Al Baihaqi mengatakan sanadnya shahih. (Lihat : Al Majmuu’, V/297)

BERHADATS KECIL MEMBACA AL QUR’AN

Bagaimana hukum membaca al Qur’an  dalam kondisi berhadats kecil ?

Jawab :

Kondisi membaca al Qur’an dapat digolongkan menjadi dua keadaan, pertama dengan tanpa memegang mushaf dan yang kedua dengan memegang mushaf al Qur’an. 

1.       Membaca al Qur’an tanpa mushaf
Untuk kondisi pertama ini, yakni seseorang yang membaca al Qur’an dalam kondisi berhadats kecil tanpa memegang mushafnya,  maka para ulama telah ijma’ (bersepakat) tentang kebolehannya. Hal ini karena tidak ada satupun dalil yang melarang perbuatan ini dilakukan.[1]Namun demikian tetap dianjurkan dan merupakan adab yang baik jika seseorang hendak membaca Al Quran dia berwudhu dahulu dan membersihkan mulutnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah “Hendaknya jika hendak membaca Al Quran dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan selainnya.”
                Bahkan ada diantara ulama salaf dahulu, jangankan ketika mereka membaca al Qur’an, ketika mereka membaca hadits nabawi saja, mereka berwudhu dahulu sebagai penghormatan atas perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.      

2.       Membaca Al Qur’an dengan menyentuhnya
Sebelum kepembahasan, perlu dipertegas dahulu bahwa yang dimaksud mushaf Al Quran adalah bagian halaman yang berisi penuh dengan ayat Al Quran dengan bahasa aslinya. Bukan buku tafsir yang didalamnya sudah bercampur dengan ucapan manusia, bukan Al Quran terjemahan yang di dalamnya Al Quran sudah dipindahkan dengan bahasa bukan Arab, bukan pula buku-buku agama atau majalah yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al Quran dan selainnya.
Bagaimana hukumnya ?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca al Qur’an dengan menyentuhnya. Yang dipermasalahkan bukanlah tentang hukum membacanya, tetapi hukum menyentuh mushaf itu sendiri. 

Para ulama yang mengharamkan
Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hukum menyentuh mushaf al Qur’an bagi orang yang berhadats adalah haram.  Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah : 79)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda : “Tidak ada yang menyentuh mushaf kecuali orang yang bersuci.” (HR. Daraquthni dan Baihaqi : Shahih)
      Dalil lainnya adalah larangan  baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabat membawa mushaf Al Quran ke negeri kafir, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. Dan kita ketahui bahwa orang-orang kafir itu selalu berhadats.
Ibnu Qudamah bahkan mengklaim tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (Pendiri mazhab ad Dhahiri)[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga berkata :  “Menyentuh Mushaf, yang benar adalah wajib berwudhu sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini telah diketahui dari para sahabat: Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar. Dari ‘Amru bin Hazm, dari NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menyentuh Al Quran kecuali yang suci.” Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melarang bepergian membawa Al Quran ke negeri musuh (kafir), khawatir mereka menyentuhnya dnegan tangan mereka.”[3]
Bahkan kalangan Hanafiyah berpendapat keharaman ini juga berlaku  bagi semua kitab yang mengandung al Qur’an semisal kitab tafsir. karena ketika menyentuhnya akan terjadi persentuhan dengan Al Quran. Sedangkan kalangan Syafi’iyah melihat dari sisi sedikit atau banyaknya; jika Al Qurannya lebih banyak maka haram menyentuhnya, dan jika tafsirnya lebih banyak maka tidak haram menyentuhnya. Kalangan Hanabilah juga berpendapat serupa dengan Syafi’iyah karena hal itu bukanlah mushaf, namun sama halnya dengan buku-buku fiqih.  Sebab jika diharamkan tentu menyimpannya akan membawa kesulitan, padahal kita membutuhkannya.”[4]
Pendapat mayoritas ini adalah yang kuat, berdasarkan bahwa Rasulullah juga pernah berkirim surat kepada raja Qaishar yang di dalam isi surat tersebut terdapat tulisan Al Qur’annya. Dan tidak mungkin Rasulullah memerintahkan raja Qaishar untuk berwudlu telebih dahulu sebelum membacanya.[5]

Para Ulama Yang Membolehkan
Meskipun pendapat yang mengharamkan menyentuh al Qur’an dikatakan sebagai pendapat mayoritas ulama, Ternyata tidak bisa dinafikan, Ada sederetan nama para ulama dan fuqaha (ahli fiqih) yang menolaknya. Kalangan ini berpendapat bahwa menyentuh al Qur’an dengan berwudhu ketika membacanya hanyalah sebatas perbuatan yang dianjurkan dan adab kepda al Qur’an, sehingga apabila ditinggalkan, tidak sampai menyebabkan pelakunya jatuh kepada keharaman.
Diantara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah imam asy Sya’bi, imam Syaukani, Adh Dhahak, Zaid bin Ali, Muayyid Billah,Daud adz Dzahiri, Ibnu Hazm, Sayyid Sabiq, bahkan dikatakan bahwa ada beberapa shahabat yang dikatakan memegang pendapat ini diantaranya adalah Ibnu Abbas ra.

Dalil-dalil yang digunakan
  Golongan kedua ini mengatakan tidak ada satupun dalil yang tegas berisi larangan bagi orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf Qur’an.  Mereka  menganggap  dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengharamkan menyentuh mushaf ketika berhadats lemah secara dalalahnya dan mereka nilai terlalu dipaksakan. Berikut penjelasannya.

1. Surat Al Waqi’ah ayat 79: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.”
Menurut mereka makna ayat  ‘Tidak ada yang menyentuhnya’ tidaklah tepat jika kata ganti (dhamir) nya ‘ pada kata ‘menyentuhnya’ diartikan menyentuh Al Quran, tetapi yang tepat ‘nya’ di situ adalah kitab Lauh Mahfuzh,  hal ini bisa diketahui ketika ayat tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya:
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun (orang-orang yang disucikan). (QS. Al Waqi’ah : 77-79)
 Ibnu Abbas radhiyallu’anhuma  menafsirkan ayat : “Tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun, yakni: Kitab yang ada di langit.”
                Al Muthahharun adalah malaikat. Ini juga pendapat  para sahabat dan tabi’in kenamaan seperti :  Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubeir, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zaid, Abu An Nahik, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam,  As Suddi,   dan lainnya. 

                Ibnu Zaid menceritakan bahwa kafir Quraisy menyangka Al Quran diturunkan  oleh golongan syetan, padahal tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun. Sebagaimana firmanNya: Dan Al Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al  Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu. (QS. Asy Syu’ara : 210-212). Lalu Imam Ibnu Katsir mengomentari: “Perkataan  Ini adalah  perkataan yang bagus (jayyid) dan tidak keluar konteksnya dari perkataan-perkataan sebelumnya.”[6]
Sementara dalam Fathul Qadir disebutkan : “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang yang suci (al muthahharun)’ Al Wahidi berkata: “Kebanyakan Ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Lauh Mahfuzh, jadi artinya tidak ada yang menyentuh Lauh Mahfuzh kecuali al muthahharun, mereka adalah malaikat. Ada yang mengatakan: tidak ada yang menurunkannya kecuali al muthahharun. Dikatakan; tidak ada yang membacanya. Ada yang mengartikan kitabul maknun adalah Al Quran, maka dikatakan (tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun) yakni orang yang suci dari hadats dan najis, demikian dikatakan Qatadah dan selainnya. Berkata Al Kalbi: “Orang-orang yang suci dari kesyirikan.” Berkata Rabi’ bin Anas: “Orang yang suci dari dosa dan kesalahan.” Berkata Muhammad bin Al Fadhl dan lainnya: (tidak ada yang menyentuhnya) yaitu tidak ada yang membacanya kecualial muthahharun, yaitu orang-orang yang bertauhid. Berkata Al Fara’: tidak ada manfaat dan keberkahannya kecuali bagi al muthahharun, yaitu orang-orang beriman. Berkata Al Husein bin Al Fadhl: “Tidak ada yang tahu tafsir dan takwilnya kecuali orang yang disucikan oleh Allah dari syirik dan nifaq.”[7]
Maka berdasarkan penafsiran diatas, kalangan ini menolak ketentuan yang mengatakan bahwa orang yang berhadats diharamkan menyentuh mushaf al Qur’an. 

2. “Tidaklah menyentuh Al Quran kecuali orang suci.”
Mereka menyanggahnya, bahwa  makna orang suci di sini adalah orang yang suci aqidah dari kekafiran, sebagaimana ayat di atas. 
Sebab, seorang yang beriman kepada Allah Ta’ala, baik laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan haid, junub, dan hadats, maka mereka selalu suci sesuaim keumuman hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis). Kesucian mereka tidak hilang karena faktor-faktor ini, sebab keimanan mereka kepada Allah Ta’ala jauh lebih tinggi dan berharga dibanding halangan-halangan ini.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan: “Karena sesungguhnya ‘orang yang suci’ adalah yang tidak bernajis, dan orang beriman bukanlah najis selamanya, sesuai hadits:Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis)[8]. Maka, tidak benar mengartikan‘orang yang suci’ untuk orang yang tidak  junub atau tidak haid atau tidak berhadats atau yang terkena zat najis (najis ‘aini), tetapi maknanya adalah untuk orang yang bukan musyrik, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”[9] 
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengomentari hadits ini :  “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali bagi orang yang keadaan suci. Tetapi, ‘keadaan suci’ merupakan lafaz musytarak (memiliki banyak arti), secara mutlak makna tersebut kepada orang yang suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan secara mutlak juga makna suci itu untuk orang beriman, untuk orang yang badannya tidak terdapat najis,  dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk makna   spesifik. Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.”[10]
                             Hal ini sama dengan kenajisan haid, sesungguhnya yang najis adalah darah haid-nya, bukan wanitanya. Sebab, telah banyak riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap bergurau bahkan mubasyarah (bercumbu) dikala isterinya haid. 

3.       Larangan Nabi menbawa mushaf Qur’an ke negeri kafir
Pihak yang membolehkan juga menyanggah pendalilan dengan hadits ini. Larangan ini disebabkan khawatir mereka akan mencela Al Quran sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, bukan karena menyentuhnya.
                Bagi mereka, justru ini menjadi dalil bagi pihak mereka (yang membolehkan menyentuh mushaf Qur’an). Sebab, larangan Nabi  sangat jelas, yakni jangan Al Quran di bawa ke negeri kafir. Karena mereka najis aqidahnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa: janganlah menyentuhnya kecuali orang-orang suci yaitu janganlah menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci dari kekafiran, kesyirikan, dan kemunafikan.  Larangan ini bukan larangan dibawanya Al Quran ke daerah muslim yang penduduknya sedang junub, haid, dan nifas.
Karena memang dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut dengan istilah ardhul ‘aduw (negeri musuh), yang berarti ada dua kemungkinan, pertama,   mereka dalam keadaan  berperang, kedua, bisa juga mereka kaum yang membenci , walau dalam keadan damai, maka mereka tetap di sebut musuh yang sangat mungkin bisa menodai kesucian al Qur’an. 

Penjelasan ini diperkuat oleh sebuah hadits, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bepergian dengan Al Quran ke negeri musuh, khawatir musuh akan mencelanya.” (HR.Muslim)
Maka, tentu tidak bisa disamakan antara penduduk muslimin yang sedang junub, haid, dan nifas, dengan penduduk kaum kafirin.[11]

Kesimpulan
Ulama sepakat tentang kebolehan membaca al Qur’an mereka yang berhadats kecil tanpa mushaf. Sedangkan hukum menyentuh mushaf al Qur’an dalam kondisi berhadats kecil baik dengan tujuan membaca atau tidak, telah terjadi khilaf dikalangan para ulama. Mayoritas mengharamkan, sedangkan sebagian yang lain membolehkan. Namun, yang membolehkan tetap menganjurkan agar melazimi membaca al Qur’an dalam kondisi bersuci, karena itu termasuk adab-adabnya dan sebuah keutamaan.
Wallahu a’lam.

SEMUT

Siang yang melelahkan. Seharian menyelesaikan pekerjaan  dan berbagai aktivitas yang serasa tak ada habis-habisnya. Kurebahkan tubuh di lantai depan ruang depan. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai.
Tapi baru saja beberapa menit berbaring, kala mataku sudah mulai terpejam, tiba-tiba aku merasakan sebuah sengatan kecil dipunggung. Sontak aku membalikan badan. Dan ternyata benar sesuai dugaakanku, seekor semut pelakunya. Semut kecil berwarna hitam tanpak merayap dilantai seperti tidak merasa telah melakukan kesalahan yang menurutku itu sebuah dosa besar karena mengganggu istirahatku.
Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'gepeng' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan kepalan seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya.
"He makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karenaaku bukan saja menghambat perjalanannya, tapi punggungku telah menindihnya sehingga ia terpaksa harus menggigitku.
Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya. Susah payah ia membawa sesuatu yang ternyata itu sisa-sisa makanan bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat kubersihkan. Beban yang dibawa semut itu memang kelewat besar bila dilihat dari ukuran tubuhnya.  Sehingga membuatnya kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya mungkin untuk sekedar mengumpulkan tenaganya atau memperbaiki posisi beban yang dibawanya. Iba juga hati ini dibuatnya.
Kantuk yang tadi menyerang tiba-tiba hilang berganti dengan penasaran. Kuikuti terus kemana semut mungil itu pergi. Rasanya aku ngin tahu di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Semut itu berhenti di sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggil–manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang.
Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah anak - anaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku. Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri tawadhu' dan qanaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga.
Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya. Tidak terasa air mataku berlinang. Menetes membasahi lantai yang tadi menjadi jalan yang dilalui semut perkasa yang telah memberikan pelajaran yang tidak pernah akan aku lupakan. Teringat dipelupuk mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah aku hajar hingga mati berkalang lantai ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa makanan yang sudah tidak aku butuhkan. Padahal yang mereka ambil adalah sesuatu yang sangat sedikit yang boleh jadi itu adalah hak mereka atas rizki yang aku terima.
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman kemudian manusia, binatang atau burung memakan tanaman itu kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR Muslim)
Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, seakan terbayang tangisan anak–anak dan istri semut-semut itu tengah menanti ayah dan suami mereka yang tidak kunjung kembali, namun yang mereka dapatkan ternyata bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah.
Ya, Allah... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhannya, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qanaah dalam hidup.
Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki atau tidak. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.
Sebagaimana kekasihku Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda : “Tidaklah ada rizki yang lebih baik dari seseorang yang memakan makanan dari hasil usaha tangannya.” (HR. Bukhari)

HUKUM QURBAN RAME-RAME

Bapak Ustadz sebagaimana yang sering kita saksikan, sebuah institusi, perusahaan atau sekolah terkadang mengerjakan ibadah Qurban. Mereka menyerahkan hewan Qurban kepada masjid atau panitia Qurban atas nama perusahaan/ institusi tersebut. Untuk sekolah misalnya, para siswa disekolah tersebut mengumpulkan sejumlah uang bersama-sama (patungan) kemudian dibelikan hewan Qurban. Bagaimana hukumnya tentang hal ini ? Apakah sah disebut Qurban, bila tidak sah statusnya apa ? 
Jawaban :
Ibadah Qurban termasuk salah satu dari sekian ibadah mahdhah (ritual), yang karena itu aturannya tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun, sebagaimana halnya ibadah mahdhah lainnya seperti shalat, zakat, haji dan lain-lain. Kalau toh kemudian ada semacam kreasi atau penambahan dalam sebuah ibadah mahdhah, maka itu hanya terkait masalah tekhnis ibadah.
Dalam ibadah Qurban diantara ketentuannya adalah seekor kambing hanya untuk Qurban satu orang, seekor sapi boleh menjadi hewan Qurban dari orang-orang yang berserikat hingga tujuh orang , dan satu unta sepuluh orang.  Ketentuan ini selamanya akan tetap seperti ini, tidak boleh sedikitpun dirubah, dikurangi atau ditambah.  Karena aturan ini digariskan oleh nas syariat yang jelas.  Bila ada seseorang yang sengaja menyalahi aturannya, maka konsekuensinya bisa menyebabkan ibadah Qurbannya tidak sempurna bahkan tidak sah.
Maka kasus yang ditanyakan  tentang Qurban yang dilakukan oleh instansi, lembaga, perusahaan atau pun sekolah-sekolah yang menyalahi ketentuan diatas, jelas jawabannya, statusnya bukan hewan Udhiyah (Qurban), melainkan sekedar sedekahan biasa. Ia tidak ubahnya seperti acara baksos, sedekah, atau acara pemberian santunan. Mungkin yang sedikit membedakannya adalah  karena yang dibagi-bagikan daging dan waktunya ikut mendompleng hiruk pikuk hari raya Idul Adha.
Tentu saja ‘berqurban’ dengan model seperti  ini tidak ada kaitannya sedikitpun dengan ibadah Qurban yang ditujukan untuk taqarrub ilaAllah. Sekali lagi ia sebuah acara yang wujudnya lain.  Yang boleh jadi bila tetap dipaksakan dianggap dan dikait-kaitkan dengan ibadah Qurban, akan menjatuhkan pelakunya kepada bid’ah yang menyesatkan. Karena telah merubah, menambah  atau membuat hal baru dalam syariat agama.
Apakah salah ? Salah sih tidak, karena sebenarnya ketika lembaga, perusahaan, atau khususnya sekolah-sekolah mengadakan patungan Qurban seperti itu,  tentu dengan niatan dan tujuan yang baik. Paling tidak mereka hendak berbagi atau bertujuan mengajari anak didiknya untuk mengenal syariat Qurban sejak dini. Tentu saja, hal seperti ini memang patut diberikan apresiasi, namun bukan berarti tidak boleh untuk dikoreksi ataupun dikritisi. Apalagi tujuan koreksi tersebut, adalah untuk perbaikan dan kebaikan kita bersama.
 Adakah solusi dalam hal ini ?
Ibadah Qurban adalah ibadah terbaik yang paling dicintai oleh Allah ta’ala, sebagaimana hadits Rasulullah beliau bersabda : Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban).” (HR. Tirmidzi)
Dan tentunya pula bersedekah membantu orang beramal dengan amalan terbaik, jauh lebih utama dibanding dengan sekedar sedekah bagi-bagi daging.  Bahkan sebagian ulama mengatakan nilai sedekah yang jauh lebih besar namun tidak berwujud Qurban di bukan Dzulhijjah, tidak lebih dicintai oleh Allah dari Qurban itu sendiri. Sehingga amat merugi seorang muslim yang diberikan kemampuan lantas menyaia-nyiakan kesempatan setahun sekali untuk meraup pahala besar lewat hewan Qurban.
Sebenarnya masalah ini bukan tanpa solusi. Bila kita mau sedikit saja mensiasati masalah diatas,   perusahaan, instansi, lembaga atau sekolah  yang menyembelih hewan dan hanya bernilai sedekah biasa itu, bisa menjadikan sembelihannya tetap bernilai Udhiyah/Qurban.
Caranya adalah dengan menghadiahkan hewan atau dana hewan Qurban itu kepada individu tertentu. Kita ambil contoh, bila suatu perusahaan akan menyembelih 10 ekor sapi. Maka 10 ekor sapi itu bisa dihadiahkan sebagai Qurban kepada 70 karyawan yang dipandang memiliki dedikasi dan prestasi yang baik. Keuntungannya, perusahaan sebagai pihak yang memberi hadiah/sedekah tetap bisa menyelenggarakan pemotongan hewan dilingkungannya, dan karyawan yang menerima hadiah Qurban mendapat pahala berqurban.  Plus dagingnya tetap bisa disantap dan dimakan bersama-sama sebagai daging yang penuh keberkahan.
Demikian setiap tahun, hadiah Qurban bisa digilir. Maka dengan cara ini perusahaan tetap bisa menyelenggarakan potong- memotong hewan, karyawan juga senang, karena merasa diperhatikan. Dan ini tentu akan memberikan sumbangan positif bagi kedua belah pihak.
Untuk sekolah, para siswa yang patungan dana bisa menghadiahkan dana Qurbannya kepada salah  seorang guru.  Tentu ini akan memberikan nilai lebih. Guru senang karena mendapatkan perhatikan para siswa, dan siswa-siswa tetap ikut senang karena tetap bisa kecipratan nikmatnya sate dan gulai daging Qurban.
Hanya saja yang perlu diingat. Sesuatu yang sudah dihadiahkan, maka ia menjadi hak sepenuhnya orang yang menerimanya. Kalau toh perusahaan atau sekolah berkeinginan agar hewan yang dihadiahkan itu disembelih dilingkungan mereka, paling jauh ia hanya bisa menghimbau. Karena hak itu sudah beralih menjadi milik orang-orang yang dihadiahkan. Terserah dia, mau berqurban dilingkungannya atau ditempat lain.

Penutup
 Bila solusi ini juga tidak mau ditempuh. Ya silahkan saja. Tidak ada yang melarang aktivitas potong-memotong hewan lalu acara ditambah dengan makan-makan bersama. Hanya saja kalau boleh kami menyarankan, mungkin waktunya bisa diundur sedikit, paling tidak sampai selesai hari tasyriq, supaya mendapatkan harga yang sudah sedikit lebih murah, lumayan lebih irit, daripada memaksa membeli disaat harga masih selangit.