Bapak Ustadz, dalam masalah fiqih selalu kita temui adanya pendapat yang berbeda-beda dari para ulama. Perbedaan itu jika cuma satu dua atau tidak banyak jumlahnya mungkin saya bisa mengerti, tetapi yang membuat saya bertanya-tanya, perbedaan itu begitu banyak dan tajam. Samapai terjadi demikian ? Padahal kita ketahui bahwa rujukan umat Islam sama yakni al Qur’an dan al Hadits.
Jawaban :
“… Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS 5:48)
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi umat Islam. Itulah perbedaan yang menambah kekayaan intelektual dan menjadi kazanah yang dibanggakan. Dan ini telah dibuktikan oleh generasi salaf dari para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu para ulama-ulama besar dahulu dari imam mazhab seperti al imam abu Hanifah, Maliki, Syafii dan Hambali, semoga Allah merahmati mereka. Tradisi mereka kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya, mereka menerangi bangunan Islam dengan ilmu dan amal, dan dalam kurun waktu kurang lebih10 abad lamanya.
Namun kemudian dimasa sekarang, perbedaan yang dahulunya adalah kekayaan dan kekuatan, justru kini menjadi salahsatu pemicu perpecahan dan faktor kemunduran. Perbedaan pendapat menjadi skat yang mengkotak-kotak umat menjadi partai dan golongan yang saling berseteru. Dalam perbedaan masalah fiqhiyyah yang seharusnya disampaikan dengan hikmah dan nasehat yang baik, justru diisi dengan kata-kata kotor, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah dilontarkan.
Kalau kita temui mereka yang berbeda pendapat, lalu berdebat dengan mengabaikan akhlakul karimah dari orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas keilmuan, mungkin kita bisa maklum. Terapi penyembuhannya juga lebih mudah, cukup dibuat siuman sedikit yang membuat mereka sadar kedunguannya, mereka akan langsung insaf. Tetapi yang disayangkan, tidak sedikit penyakit berbahaya ini melanda orang-orang yang dikatakan punya ilmu, namun ketika melihat perbedaan, ilmunya tidak mampu membimbingnya untuk bersikap selayaknya ahlu ilmi. Innalillah wainna ilaihi raji’un.
Hal ini wajar kalau kemudian memunculkan reaksi. Sebagian kita mungkin merasa kesal dengan keadaan ini, ada juga yang bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat ?
Sebab perbedaan pendapat
Dalam artikel ini, kita tidak membahas hikmah di balik perbedaan tersebut, tetapi kita akan membahas kenapa berbedaan itu muncul, dengan harapan ini akan menumbuhkan pemahaman kita terhadap pendapat yang berbeda dengan kita. Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" membuka perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus karena bertentangan dengan fitrah agama yang suci ini.
1. Perbedaan Dalam Memaknai Lafadz Teks Nash.
Perbedaan dalam memberikan makna ini disebabkan oleh bentuk lafadz ayat atau hadits yang global (mujmal), mempunyai banyak makna (musytarak), mempunyai makna yang tidak bisa dipastikan khusus atau umumnya, haqiqah dan majaz-nya, haqiqahdan 'uruf-nya, atau disebabkan mutlaq atau muqayyad-nya, atau perbedaan I’rab.
Kita ambil contoh misalnya dalam pemaknaan “al-Quru” dalam lafadz ayat berikut ini,
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´ Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah :228)
Quru’ bisa berarti suci bisa juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.
Bukankah Allah Subhanahu wata’ala Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi ? Namun Allah tidak mengatakan dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'. kalau Allah menghendaki menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah ta’ala dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid.
Lihatlah, sepertinya Allah Subhanahu wata’ala sengaja memilih kata Quru’ sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wata’aladengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.
Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.
Dan masih banyak contoh yang lain.
2. Perbedaan Riwayat
Perbedaan riwayat hadits yang menjadi rujukan hukum diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama adalah adanya hadits yang hanya sampai kepada satu mujtahid dan tidak sampai pada mujtahid yang lain. Kedua adalah sampainya satu hadits kepada seorang mujtahid dengan sanad yang dla’if, sementara hadits tersebut sampai kepada mujtahid yang lain dengan sanad yang shahih. Ketiga: Seorang mujtahid berpendapat bahwa terdapatnya perawi dhaifdalam riwayat sabuah hadits membuat hadits tidak dapat diterima, sedangkan mujtahid yang lain tidak demikian.
3. Adanya Perbedaan Dasar hukum
Perbedaan dasar hukum yang dimaksud ialah dasar hukum selain al-Quran, hadits dan ijma’. Karena untuk ketiga hal tersebut sudah jelas, yang diperbedapendapatkan adalah seperti penggunaanIstihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishab dan sadd al-dzariah dan lainnya.
4. Perbedaan dalam Kaidah-kaidah usul
Perbedaan ini seperti perbedaan pendapat tentang digunakannya kaidah “al-‘am al-makhsush laisa bihujjah/lafadz yang bermakna khusus yang dikhususkan tidak dapat dijadikan hujjah”, “Al-mafmun laisa bihujjah/kepahaman konteks tidak bisa dijadikan hujjah” dan lain-lain.
5. Ijtihad Menggunakan Qiyas.
Ini adalah penyebab yang paling luas, dimana ia mempuyai dasar, syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Semua ini menjadi potensi bagi timbulnya perbedaan.
6. Pertentangan Dasar Hukum berikut Tarjihnya
Terkadang ayat dalam Al-Qur’an ada yang dzahirnya saling bertentangan isinya mengenai satu masalah. Atau bisa juga pertentangan antara isi ayat dan isi hadits, atau hadits dengan hadits lainnya. Disinilah kemudian para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum, pendekatan metode mana yang digunakan. apakah takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan (al-jam’u), penyesuaian antara dalil (at-taufiq) misalnya dengan caratakhsis, dan penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Penutup
Dengan penjelasan ini, dapat kita ketahui bahwa hasil ijtihad para ulama yang berbeda-beda itu, adalah karena mereka berpegang teguh kepada al Qur’an dan hadits. Sumber agama ini. Dan sudah pasti produk hasil olahan dari bahan baku wahyu yang diracik oleh para master Chef tidak akan berbahaya, justru baik dan menyehatkan.
Ketika ‘menu hidangan’ disajikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Justru hal itu akan menambah selera dan memperindah hidangan. Tidak garing. Dalam istilah kuliner rasanya lebih akan terasa : Mak Nyuss !”
Kalau kemudian ada orang dari dusun yang masih udik datang ke kota untuk sebuah jamuan makan-makan, lantas ia tertegun dan kikuk karena melihat aneka hidangan beraneka ragam, kita bisa maklum dan itu hal biasa. Keadaan baru berubah menjadi tidak biasa kalau kemudian ada yang berteriak-teriak mencela makanan karena ia bingung menentukan pilihan yang sesuai perutnya.
Begitulah permisalannya. Terkadang ada yang menduga bahwa perbedaan ini menyebabkan kontradiksi dalam sumber syariat atau perbedaan akidah, seperti perbedaan aliran-aliran dalam agama diluar Islam.
Tentu saja dugaan ini tidak benar. Karena perbedaandikalangan ulama hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti dan dasar agama. Dalam shalat misalnya, ulama berbeda pendapat dalam beberapa detail masalah, misalnya tentang isyarat telunjuk, tatacara duduk dan hal-hal lainnya. Sesuatu yang sangat manusiawi terjadi perbedaan interpretasi disana. Untuk hal-hal pokok dan esensial, hampir tidak ada perbedaan. Adakah yang shalat shubuh tiga rakaat? Atau yang berpendapat bertakbir dengan mengangkat kaki ?
Demikian. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar