Ketika lapangan pekerjaan semakin
sempit, kesempatan meraih hasil yang lebih banyak semakin kecil, dan
ketika persaingan hidup menjadi lebih kompetitif di masa kini dan akan
datang, maka waktu semakin lebih berharga, baik di tempat kerja, di
rumah, dan di lingkungan sosial. Bahkan, selain itu, kita masih
dihadapkan pada semakin tingginya tuntutan akan kebutuhan hidup dan
besarnya pengeluaran yang harus kita bayar. Agar kita dapat keluar dari
kemelut kehidupan dan mampu menjadikan aktivitas hidup berdimensi ibadah
(vertikal dan horizontal), maka kita perlu bertawakkal kepada Allah
Swt. atas rezeki dan keinginan untuk meraihnya-karena adanya berbagai macam kebutuhan hidup.
Pentingnya bertawakkal dalam mencari rezeki didasarkan pada dua alasan, yaitu: Pertama,
tawakkal menjadikan seseorang bebas dari beban duniawi, sehingga ia
dapat beribadah dengan baik dan tenang. Orang yang tidak bertawakkal
mustahil dapat menyibukkan diri dalam beribadah karena terlalu
memikirkan kebutuhan hidup yang banyak, keinginan mencari rezeki, dan
kemaslahatan, baik lahir maupun batin. Kesibukan-kesibukan lahiriah yang
sering kali melupakan (melalaikan) ibadah dapat berupa banyaknya
pekerjaan dan usaha dalam mencari rezeki. Hal ini seperti yang terjadi
pada orang-orang yang ingin menumpuk kekayaan (ar-raghibin). Adapun
kesibukan batiniah berupa pikiran, keinginan, dan kegelisahan hati untuk
mencari rezeki.
Dalam pelaksanaan ibadah, dibutuhkan
kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh agar segala elemen yang
terkait dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang ada. Kelapangan
hati dan keleluasaan anggota tubuh hanya terjadi bila seseorang mau
bertawakkal. Dengan kata lain, hanya orang-orang bertawakkallah yang
mampu meraih kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh.
Adapun orang yang lemah hatinya hampir
tidak akan mencapai ketenangan dalam jiwanya, kecuali hanya pada hal-hal
yang sudah diketahuinya dan menjadi kebiasaannya. Di samping segala
urusan penting, baik yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, hampir
dipastikan dia tidak pernah mencapai kesempurnaan.
Imam al-Ghazali juga mengatakan, banyak
sekali hal-hal yang saya dengar dari guru saya, Abu Muhammad. Bahwasanya
beliau mengatakan, "Segala persoalan yang ada di dunia ini berjalan
atas dua orang; orang yang bertawakkal (al-mutawakkil) dan orang yang
kurang perhitungan (al-mutahawwir)." Pernyataan tersebut memiliki
makna yang luas. Orang yang kurang perhitungan akan mendasarkan
pekerjaannya pada kekuatan dan keberanian saja, tanpa memikirkan atau
menimbang-nimbang dampak positif dan negatif dari tindakan yang
diambilnya.
Adapun orang yang berawakkal, maka
segala perbuatannya didasarkan pada pemikiran dan perencanaan yang
matang, keyakinan yang kuat terhadap janji Allah Swt., dan kebenaran
atas apa yang dijanjikan oleh-Nya. Karena itu, ia
tidak akan merasa takut dengan ancaman manusia dan gangguan serta bujuk
rayu setan. Dalam hatinya, tertancap satu keyakinan bahwa ia akan berhasil mencapai maksudnya dan meraih keinginannya.
Adapun orang yang hatinya lemah,
maka ia akan selalu dihantui berbagai macam perasaan antara tawakkal,
keraguan, dan keyakinan. Orang seperti ini diibaratkan burung dalam
sangkar yang hanya bisa memandang gerak-gerik pemiliknya, sementara ia
tidak bisa membuka pintunya walaupun keinginannya untuk keluar dari
sangkar itu sangat besar. Kategori orang seperti ini menggantungkan
harapan yang besar dan ingin menggapai angkasa, tetapi ia sering gagal dalam merencanakan tujuannya karena kurang wawasan (pengetahuan). Demikian pula ia
sering memimpikan kemuliaan, ibarat pungguk merindukan rembulan, namun
impiannya tersebut hampir tidak pernah terwujud dalam kenyataan, apalagi
sampai pada tingkat kesempurnaan.
Lihat dan perhatikan manusia yang
bercita-cita! Mereka tidak akan dapat mencapai derajat yang tinggi dalam
kehidupan kecuali jika mereka telah mampu dan sukses merencanakan
tujuannya, rela mengorbankan keinginan akan jiwa, kekayaan, dan keluarga
mereka semata-mata karena Allah. Orang-orang yang orientasinya adalah
Allah dan Hari Akhir, mereka telah mempersiapkan diri dengan modal
spiritual yang utama, yaitu tawakkal dan berupaya mencegah hati dan
seluruh eksistensi dirinya dari ketergantungan-ketergantungan duniawi.
Jika seorang hamba mampu mengaplikasikan konsep ini dengan baik dan benar, maka is akan dapat melaksanakan aktivitas ibadahnya dengan rasa khusyuk dan sikap tawadhu', khudhu', dan thuma'ninah.
Maka, tidak ada bedanya bagi mereka ketika berada di dalam kondisi
bagaimanapun, dan situasi apa pun juga tidak berengaruh bagi eksistensi
diri mereka di hadapan Allah.
Mereka mampu mengondisikan dirinya
menjadi sepi di tengah keramaian dan ramai di tengah kesepian. Dengan
demikian, orang-orang seperti ini akan menjadi hamba-hamba Allah yang
diberi-Nya kekuatan, manusia yang paling terpimpin bersama-Nya, dan
penguasa-Nya di bumi (khalifah Allah). Mereka dapat beribadah dan
menuntut ilmu sesuai dengan kemauan Allah. Tidak ada yang mampu
menghalangi dan merintangi mereka, sebab bagi mereka pada setiap
situasi, kondisi, ruang (tempat), dan waktu (zaman) adalah sama dan satu
esensinya.
Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah Saw. berikut: "Barang
siapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka bertawakkallah kepada
Allah. Barang siapa ingin menjadi orang yang paling mulia, maka
bertakwalah kepada-Nya, dan barang siapa yang ingin menjadi orang yang
paling kaya, maka hendaklah ia mempercayai (meyakini) kekuasaan Allah daripada kekuasaan dirinya,"
Tawakkal
adalah suatu sifat dan sikap yang dapat mengantarkan seseorang untuk
dapat melihat dunia dan akhirat sebagai kerajaan yang dimiliki dan
dikuasai oleh Allah Swt., dan meyakini sepenuhnya akan pengaturan-Nya
terhadap dirinya dengan rezeki-Nya yang tersebar luas di segala penjuru
dunia ini.
Kedua, orang yang selalu bertawakkal tidak pernah khawatir, takut, dan ragu akan kekurangan rezeki, sebab ia meyakini bahwa bila ia meninggalkan tawakkal, maka ia
akan menemul bencana dan bahaya yang besar. la meyakini bahwa Allah
senantiasa mengiringi makhluk-Nya dengan rezeki-Nya masing-masing, tanpa
adanya diskriminasi atau pengecualian.
Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: "Allah-lah
yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu,
kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan
dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan." (QS. ar-Rum [30]: 40).
Allah Swt. telah menjanjikan dan memberikan jaminan rezeki kepada siapa pun juga, hal ini mengisyaratkan akan sifat Rahman, Rahim, Wahhab, Razzaq, Fattah, Ghaniy, dan Mughniy-Nya,
Berta sifat-sifat Kedermawanan-Nya yang tidak dapat dibatasi dan
diperumpamakan dengan sesuatu apa pun juga. Hal tersebut dijelaskan
dalam beberapa firman-Nya di bawah ini: "Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 58). "Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya, semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)." (QS. Hud [11]: 6). "Maka demi Tuhan langit dan bumf,
sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)
seperti perkataan yang kamu ucapkan." (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 23).
Tawakkal adalah termasuk di antara
perintah-perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap hamba yang
telah berikrar untuk beriman kepada-Nya. Hal ini dapat menjadi barometer
kualitas keimanan seseorang di hadapan Allah Swt., sebagaimana isyarat
firman-Nya: "Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Maha Hidup (kekal)
Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia
Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya." (QS. al-Furgaan [25]: 58).
"Berkatalah dua orang di antara
orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat
atas keduanya: `Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu,
maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada
Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman." (QS. al-Maa'idah [5]: 23).
Jika manusia tidak mau menerima dan
membenaran janji Allah, jaminan, sumpah, dan ancaman-Nya, maka bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi? Siapa lagi yang memberi rezeki selain
Allah? Demi Allah, jika demikian halnya, maka inilah yang disebut dengan
bencana besar yang menimpa manusia. Na'udzu billah min dzalik. Sumber:
Buku Orang Islam Harus Kaya
Tags yang terkait dengan kunci
rezeki: kunci rezeki menurut islam, kunci rezeki yang hilang, download
document kunci rezeki, mencari kunci rezeki yang hilang, makalah kunci
rezeki, tips untuk memperoleh kunci rezeki, rezeki menurut islam, doa
melancarkan rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar